Kamis, 11 Agustus 2011

Perjanjian Ekstradisi

Perjanjian ini ramai dibicarakan saat Nazarudin tertangkap diColombia, sebenarnya apa yang dinamakan dengan Perjanjian Ekstradisi tersebut.

Pengertian Ekstradisi : adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya,

Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.

Menurut I Wayan Parthiana, SH “Ekstradisi adalah Penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau
berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya.”

ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi,
perluasan konvensi dan tata krama internasional.

Sejarah Ekstradisi

Mesir dengan Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya
tahap-tahap permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal yang merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279 sebelum Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan diserahkan tidak dijatuhi hukuman.

Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi

Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu.Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta.
Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara masing-masing kedua belah pihak. Apabila perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan
lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut.Permintaan untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal kepada negara diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk
menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada wakil negara diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan ataupun dalam konferensi internasional. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah merupakan tahap penjajakan saja.Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran dipomatik, harus ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:

1. Adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person)

Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman antara negara negara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta, bila orang itu warga negara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga, dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakan negara yang dimintabiasanya menolak untuk menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diserahkan kepada negara lain. Dengan perkataan lain warga negara yang telah melakukan
kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of nationals).

2. Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offence)

Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu:
a) Kejahatan politik.
b) Kajahatan militer.
c) Kejahatan agama.

Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalam menetapkan kejahatankejahatan apa yang dapat diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem, yaitu:

1) Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu kejahatan mana yang dapat diekstradisi.

2) Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisi
maksimum hukuman yang dapat diekstradisi.

3) Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau
ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya,
sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip
timbal balik yang disepakati.

sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip timbal balik yang disepakati Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk melaksanakan ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya,.


Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi

Azas-azas atau dasar-dasar yang dipakai dalam ekstradisi, apakah itu merupakan perjanjian ekstradisi bilateral atau multilateral maupun dalam undangundang nasional suatu negara megenai ekstradisi pada pokoknya adalah sama.

Dasar-dasar yang sama tersebut terus diikuti oleh negara-negara yang membuat perjanjian ekstradisi maupun yang merumuskan peraturan ekstradisi dalam perundang-perundangan.
Dengan demkian azas-azas yang sama ini telah dapat diterima dan diikuti sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi. Adapun azas-azas tersebut ialah:

1. Azas Kejahatan Ganda (Double Criminality).

Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut juga diyakini dan diterima sebagai suatu kejahatan yang terhadapnya harus dijatuhi hukuman baik oleh negara peminta maupun negara diminta. Dengan demikian apabila negara diminta memandang bahwa permintaan dari
negara peminta terhadap orang yang perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan kejahatan dinegara yang diminta maka negara tersebut tidak dapat menyerahkan orang yang diminta tersebut kepada negara peminta, karena hal ini akan melanggar azas kejahatan ganda yang telah diterima sebagai azas utama dalam suatu perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataan lain bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara.

2. Azas Kekhusussan atau Specially.

Azas ini berhubungan dengan azas yang pertama karena azas ini mengatur tentang penyerahan atas tuduhan kejahatan yang disebutkan dalam permintaan penyerahan pelaku kejahatan.
Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu kejahatan saja dan sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan atas kejahatan tersebut tidaklah menjadi masalah. Namun bagaimana jika sipelaku tersebut telah melakukan pembunuhan, sipelaku juga melakukan kejahatan penipuan, pemalsuan mata uang dan lain-lain yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk
penyerahannya kepada negara peminta.

3. Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition of Political Criminal).

Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian politik maupun perundang-undangan mengenai ekstradisi. Terhadap kejahatan politik erat kaitannya dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yang tertuang dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusia yang dalam salah satu isinya ialah setiap orang berhak mencari dan menikmati perlindungan politik dari negara lain. Meskipun Pasal tersebut tidak mewajibkan suatu negara untuk
memberikan perlindungan kepada setiap individu yang datang meminta perlindungan kepadanya.

4. Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition Nationality).

Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatan yang dilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib melindungi warga negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya sehingga warga negara tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama dengan apabila ia diadili
dinegaranya sendiri.

5. Azas Non Bis In Idem.
Azas ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku kejahatan untuk tidak dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu peristiwa pidana dapat saja melibatkan lebih satu negara yang berhak atas yurisdiksi bagi kejahatan tersebut. Apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukumman dinegara dimana ia berada, maka negara peminta tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti dinegara diminta. Karena tujuan ekstradisi adalah memberantas kejahatan dengan kerja sama tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati.

6. Azas Kedaulatan.

Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yang sama, yaitu tidak akan melakukan penyerahan apabila penuntutan atau pelaksanaan hukumman terhadap kejahatannya yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa menurut hukum dari salah satu pihak. Batasan waktu yang diberikan sehubungan dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap kadaluarsa apabila telah lewat waktunya yang seharusnya berlaku. Peristiwa tersebut
dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang seakan-akan tidak pernah terjadi.

7. Azas Capital Punishment.

Yaitu suatu prinsip yang menyatakan apabila negara menuntut suatu ekstradisi atau kejahatan yang diancam dengan hukumman mati maka ekstradisi demikian tidak dapat diterima.

8. Azas Lex Loci Delictus.

Yakni suatu azas yang menyatakan tempat dimana kejahatan terjadi akan mendapat prioritas utama bilamana terdapat lebih dari satu negara yang menuntut suatu ekstradisi. Hal ini berarti tuntutan ekstradisi yang diutamakan ialah tuntutan dari negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan.

9. Azas yang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan tunduk kepada hukum nasional dari negara masing-masing.

10. Azas yang menyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat saja ditolak bila kejahatan yang dilakukan seluruhnya atau sebagian berada dalam yurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini tampaknya mempunyai kaitan dengan azas Lex Loci Delictus mengenai tempat dimana kejahatan
itu dilakukan. Jelasnya disini faktor tempat sangat mempengaruhi kemungkinan dapat tidaknya permintaan ekstradisi suatu negara dikabulkan.

11. Azas yang menyatakan bila mana terjadi ekstradisi kenegara ketiga, maka hanya dapat dilakukan dengan izin dari negara yang diminta.Dari berbagai azas yang mewarnai peraturan ekstradisi, dapat dilihat bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil dengan penuh pertimbangan dan jaminan demi tercapainya tujuan ekstradisi itu sendiri yaitu yakni memberantas kejahatan secara kerja sama untuk mewujudkan masyarakat internasional yang aman, tertib, dan adil. Disamping itu azas-azas ini telah mendapat pengakuan dari negara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin agar hak-hak azasi manusia tidak dilanggar dalam pelaksanaannya.

Jadi dalam Perkara Nazaruddin Indonesia harus terlebih dahulu memiliki Perjanjian Ekstradisi dengan Negara Kolombia, jadi opsi memulangkan Nazaruddin tidaklah tepat menggunakan Ekstradisi sebab Indonesia tidak memiliki Perjanjian Ekstradisi. jadi yang digunakan adalah Upaya untuk mendeportasi Nazzaaruddin ke Indonesia karena permasalahan Paspor. Berbeda dengan Pemulangan Teroris Umar Patek dari Pakistan, karena Indonesia dengan Pakistan sudah memiliki Perjanjian Ekstradisi oleh karena itu mekanisme pemulangannya dengan cara Ekstradisi.


Rabu, 10 Agustus 2011

Pembaharuan Hukum

Sejarah Hukum.

Hukum yang berpengaruh di dunia ada 2 :
1. Hukum Tipe Anglo Saxon : ini dianut oleh Negara Jajahan Inggris, Negara Persemakmuran;
2. Hukum Tipe Eropa Kontinental : ini dianut oleh Negara Belanda dan Jajahan Belanda;

Hukum di Indonesia adalah Hukum yang berasal dari hukum Belanda(code Civil), dimana perbedaan antara system anglo saxon dengan eropa kontinental itu di Juri didalam pengadilan.

Kalau di System Eropa Kontinental Hakim merupakan pemutus dalam suatu perkara hukum dan hakim tersebut dapat dikatakan sebagai corong dari Undang-undang.

Sedangkan Juri itu terdiri dari Berbagai profesi dan latar belakang yang hidup dimasyarakat.. system juri ini mengurangi hal-hal kecurangan dalam memberikan putusan sebab juri ini ada ditengah-tengah masyarakat, jadi putusan pengadilan akan lebih mencerminkan keadilan sebab hukum tersebut hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Jadi sudah sepantasnya hukum di Indonesia terus berkembang seiring dengan kehidupan masyarakat yang berkembang.